Menebak Cangkir Hati

     Hujan, menulis, dan aroma kopi adalah kombinasi paling menyenangkan bagi seorang penulis sepertiku. Kata-kata indah kucoba rangkai berkala, cerita demi cerita ku usahakan terlahir mengalir, dan plot demi plot mulai terurai secara natural. Rutinitas ini kulakukan setiap hari tanpa rasa bosan, seakan ini sudah menjadi keharusanku, meski sebenarnya aku bukanlah seorang penulis profesional. Aku adalah seorang lulusan sarjana psikologi yang tak punya bakat menulis. Tetapi entah kenapa, aku selalu merasa ada kepuasan tersendiri saat berada di kafe, mengetik di laptop, dan menulis cerita


Aku selalu mengirimkan cerita-cerita pendek romantis ke penerbit-penerbit, berharap mereka tertarik. Tapi sayangnya, selalu berakhir dengan penolakan. Mereka bilang cerita-ceritaku terlalu monoton dan membosankan. Meski begitu, aku tak pernah merasa lelah. Aku tetap menulis, berpikir bahwa penolakan adalah bagian dari perjalanan. Seakan itu sudah hal biasa, walau sebenarnya aku merasa frustrasi.


Ibu, yang selalu mengamati rutinitasku yang itu-itu saja mulai merasa prihatin. Tidak ada perkembangan karir yang kulakukan. Aku hanya duduk di kafe dari pagi hingga malam, hingga beberapa kali tertidur di sana. Melihat keadaanku, ibu akhirnya punya sebuah ide dengan membuka kafe dan menyuruhku untuk bekerja di sana. Awalnya aku menolak, tapi setelah dibujuk rayu berkali-kali, akhirnya hatiku terbawa arus juga.


Meskipun ibu seorang dosen filsafat di UGM, ia tidak berpikir untuk membebaskan pikiranku untuk hidup seperti ajaran-ajaran filsafat. Sebaliknya, dia ingin aku hidup yang pasti-pasti saja dengan bekerja di kafe yang akan dibukanya, sebagai langkah awal menuju kehidupan yang lebih nyata. Aku tak tahu apakah itu keputusan yang tepat, tapi akhirnya aku mengiyakan.


Hari pertama, kafe belum buka. Aku masih menata dan mendekorasi seluruh ruangan. Tentu saja, aku melakukannya sendirian. Ibu berkata akan ada pekerja paruh waktu yang akan menemaniku bekerja. Singkat cerita, aku selesai menata barang-barang dan membuat kafe terlihat nyaman menurut pandanganku. Namun, ada satu hal yang masih mengganggu: aku belum tahu nama kafe ini. Aku pikir, nanti saja akan kupikirkan, atau mungkin aku akan mendiskusikannya dengan pekerja baru yang ibu kerjakan. 


Hujan begitu lebat mengguyur kota. Kupikir, ini mungkin alasan kenapa pekerja itu belum datang. Namun, entah kenapa, aku tiba-tiba merasa mengantuk dan tertidur di sofa. Hingga hujan reda, aku terbangun dan mendengar suara gedoran pintu kafe.


Saat kubuka pintu, seorang perempuan berdiri di sana. Sepertinya seumuran denganku, tingginya sekitar 155, rambutnya sedikit lepek karena terkena air hujan dengan memegang payung basah di tangan.

 "Halo, Kak. Maaf, aku terlambat banget, hujannya deras," katanya.


"Oh, nggak apa-apa. Kamu pulang aja dulu, aku sudah beresin semuanya. Besok kamu bisa mulai kerja," jawabku, agak malas.


Aku berpikir sejenak sepertinya aku salah, seharusnya aku menjamunya dulu apalagi dia baru datang jauh-jauh kehujanan pula. 


Saat inilah ilmu psikolog ku berguna, sepersekian detik setelah mengatakan itu aku terkejut melihat raut wajahnya sedikit mengkerut dalam beberapa titik yang membuatku tahu beberapa saat lagi dia akan memarahiku. 


Namun tak seperti yang kuharapkan, perempuan itu hanya mengangguk dan langsung pergi bahkan belum sempat ku tanya namanya. 


Aku tidak mengambil pusing mungkin tebakanku salah, kafe kututup lalu aku pergi untuk pulang dan istirahat di kosanku memang semenjak aku lulus SMA aku langsung pergi dari rumah dan memulai hidup mandiri. 


Hari esok pun tiba dan aku sudah bersiap untuk bekerja sebagai barista yang ramah mengayomi pembeli. Aku berangkat pukul 8 pagi dengan sepeda ku dan menempuh 3 km dari rumah menuju kafe. Sesampai didepan kafe aku melihat perempuan itu lagi dengan dandanan cukup rapi dibanding kemarin dan dari raut wajahnya aku tahu moodnya cukup baik hari ini. 

“pagi kak,” ucapnya dengan senyum. 


“ya, pagi.”


Aku membuka kunci pintu kafe lalu menekan saklar lampu, kulihat dia langsung masuk dan duduk di sofa panjang. Karena merasa tidak enak menyuruhnya untuk pulang kemarin, aku terpikir untuk meminta maaf dan membuatkannya kopi. 


Aku membuatkannya cappucino, karena kupikir jika dilihat dari penampilan dia termasuk kriteria orang yang suka cappucino. 


“aku minta maaf buat yang kemarin, boleh dimaafkan?,” ucapku sambil meletakkan kopi di meja depan sofa tempatnya duduk. 

“boleh, tapi ada yang mau ku tanyakan. Kenapa cappucino?” ucapnya. 

“karena orang yang suka cappucino biasanya sosoknya halus, perfeksionis, Ramah, dan suka bersosialisasi cocok buatmu”.


“oke deh aku halus, dan ramah. Tapi kok kamu tau aku orangnya suka bersosialisasi dan perfeksionis?” ucapnya dengan tatapan penuh penasaran. 


“itu lanyard yang kamu pakai kan hadiah dari volunteer, sudah pasti seorang volunteer itu tingkat sosialnya tinggi terus kenapa aku tau kamu perfeksionis karena kamu tidak marah saat ku suruh pulang karena telat, tandanya kamu bukan orang yang suka keterlambatan dan juga biasanya orang yang tidak perfeksionis tidak akan memperhatikan kerapian pakaian dikala cuaca hujan” ucapku. 


Mendengar penjelasanku dia langsung menengok lanyard yang dia pakai lalu tersenyum. 


“kamu teliti ya, namun sebenarnya kamu salah menebak, ” ucapnya. 


“apa? ”


“sebenarnya aku gak suka kopi, kalau disuruh memilih minuman disini aku hanya cocok dengan matcha. Walaupun sebenernya aku gak menolak kopi sih hehe”. 

“Oh iya btw kenalin namaku Hiza, dan aku mahasiswa semester akhir jurusan filsafat

 di ugm.” timpanya. 


Aku cukup terkejut mendengar itu karena sebelum aku menjadi lulusan mahasiswa psikologi aku sempat menjadi mahasiswa baru jurusan filsafat di universitas yang sama, ugm. Bukan tanpa sebab, kepergianku meninggalkan filsafat karena kurasa filsafat terlalu ektrem untuk pikiranku. Apalagi dosen 


“Aku Ditto, kita satu almameter kok, bedanya aku psikologi kamu filsafat” kataku. 


“iya kok aku tau kamu anaknya bu dosen, eh btw gimana sudah kepikiran nama buat kafe ini belum? ” kata Hiza. 

aku baru teringat hari ini hari pertama kafe buka namun konyolnya belum diberi nama. 


Menyadari ekspresiku yang kebingungan, Hiza sepertinya langsung menangkapnya. Kami saling melirik, melihat ke bawah, lalu ke atas, seperti orang yang sedang bingung. Hingga akhirnya mata kami bertemu pada cangkir cappuccino yang kubuat untuknya, yang berhiaskan gambar hati berwarna pink.


"CANGKIR HATI!" seru Hiza, tiba-tiba dengan lantang.

Aku mengangguk tanda menyetujui dan segera mendaftarkan nama kafe ke gmaps dengan nama “Cangkir Hati”.


*kriingg suara lonceng kecil terdengar tanda ada seseorang masuk, dan ternyata adalah pengunjung pertama kita. Hiza langsung bergegas menuju kasir dengan ekspresi senyum dan menyapa pengunjung, sedangkan aku bergegas menuju dapur. 


Waktu demi waktu terus berjalan pengunjung pengunjung mulai berdatangan, aku cukup bahagia melihat kafe ramai. Sampailah akhirnya pukul 5 sore, tandanya tiga jam lagi kafe akan tutup. Aku mengintip pengunjung lewat kaca penghubung kasir dengan dapur. 


“Ah pria tua itu kalau dari kelihatannya tukang selingkuh nih, yang pake topi merah itu dari gelagatnya sedang depresi” gumamku kecil. 

“Ah buruk sangka kamu!” kata Hiza dengan nada sedikit keras. 

Aku terkejut, 

“Lihat deh yang kamu bilang tukang selingkuh coba perhatiin jarinya, masih pake cincin kan? Mana mungkin orang selingkuh pake cincin pernikahan. Yang kamu katain depresi itu salah, karena biasanya orang depresi tidak akan memakai sesuatu yang mencolok seperti topi merah. Karena orang yang sedang depresi tidak akan suka menonjolkan hawa keberadaanya” kata Hiza. 


*kriinggg... suara lonceng kecil dari pintu berbunyi datang wanita muda cantik memakai dress warna merah duduk di meja pria tua itu. Lalu pergi keluar kafe tanpa memesan apa apa, melihat itu Hiza sedikit kesal. 


Melihat Hiza kesal aku merasa senang, aku berencana menunjukkan bahwa prediksiku tentang pria topi merah sedang depresi. Entah mengapa waktu itu aku terpikir menyetel lagu Hindia-Evaluasi dengan speaker, walau volume nya kecil namun cukup untuk terdengar seisi kafe. Aku dan Hiza mengamati pria bertopi merah itu entah apa yang akan dia lakukan. 


Dan lagi aku berhasil membuktikan prediksiku kali ini tidak salah. Pria itu tiba-tiba terlihat memelas dan mengeluarkan sedikit air mata, Hiza mulai kesal dan pergi menuju kasir depan dan tidak berbicara denganku sampai waktu tutup tiba. 

Hari demi hari kami lalui berdua di kafe, kini kafe kami cukup viral karena banyak selebgram memposting diri mereka sedang menongkrong di kafe kami. Kami berdua masih sering membicarakan dan menebak isi hati para pengunjung kita setiap hari dan tebakanku selalu benar. Lima bulan berlalu dan tanpa terasa minggu ini adalah minggu terakhir Hiza bekerja di kafe ini, entah kenapa hatiku terasa berat melepas Hiza. 


Hari ini seperti biasa kami menjalan kafe berdua dengan hawa yang berbeda. Aku hari ini hanya sedikit membuka percakapan dengannya sampai akhir hampir waktunya kafe tutup. 

“Za kamu beneran mau pergi nih? ” kataku. 

“iyalah kan kuliahku udah selesai minggu depan wisuda terus kerja, inikan aku cuma sambilan” kata Hiza. 

“Eh Za aku mau ngomong sesuatu” kataku. 

“Ya apa? ” kata Hiza. 

“sebenernya selama kamu kerja disini aku... ”

*Tiinnnn suara klakson motor terdengar

“Zaaaa Zaaaaa!!!” terdengar teriakan laki-laki memanggil Hiza didepan kafe. 

“Iyaaa Yaanggg bentaaarrrr!! ” kata Hiza dengan lantang. 

“Eh sorry itu pacarku jemput, besok aja ya ngomongnya udah ditunggu” kata Hiza sambil pergi menuju pacarnya. 


Aku terdiam sejenak hatiku sesak, aku merasa diriku gagal. Di rumah aku merasakan dilema yang sangat besar, lima bulan jatuh hati kulalui dengan wanita yang ternyata milik orang lain tanpa bisa ku ketahui. Aku selalu berpikir bisa mengetahui isi hati orang lain, namun isi hati Hiza susah ku tebak. Aku sudah menstalking seluruh sosmed Hiza, tidak ada tanda bahwa dia sedang menjalin hubungan. Namun akhirnya baru-baru ini ku ketahui ternyata selama lima bulan ini dia sedang LDR dan baru bertemu hari ini. 


Ternyata, hati orang lain memang sulit ditebak, bahkan bagi seseorang yang bisa membaca pikiran orang lain seperti aku. Membaca perasaan memang tidak segampang itu, aku benar benar harus teliti untuk memahami baik baik apakah ini perasaan atau sekedar penasaran ingin nyaman sejenak. Haruskah aku menebak isi hati pikiranku sendiri, menjadi penulis cerita romantis saja gagal apalagi menjalaninya. Jika saja dunia ini bisa ku kirim ke dunia cerita karangan romantisku, aku ingin menjadi burung yang terbang bebas menatapmu bergandengan tangannya saja sudah cukup puas ragaku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tinggal dan Pergi?

Perayaan Warna Valentine