Perayaan Warna Valentine

    Namaku Ditto, seorang remaja SMA yang sejak kecil tak pernah berharap ada warna lain yang muncul menemani hari-hariku selain hitam dan putih. Tapi kali ini, berbeda. Aku baru saja menemukan warna baru. Tanggal 13 Februari 2024, sehari sebelum Valentine yang identik dengan pemberian cokelat kepada orang terkasih, aku dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Sebagaimana lelaki yang sedang jatuh cinta, rasanya sudah selayaknya merayakan Valentine seperti pasangan remaja lainnya. Lagi pula, ini adalah pertama kalinya bagiku.


Hatiku jatuh pada Raelia Artistika, perempuan manis yang sekelas denganku saat kelas 10 dulu, dan mulai dekat sejak kelas 11 meskipun kami berbeda kelas kami dekat karena kami mempunyai idola yang sama yaitu pak Sapardi Djoko Darmono. Kami saling mengetahui idola kami sama karena pada waktu itu guru menyuruh kami menuliskan siapa idola masing-masing siswa dan kami berdua kompak menulis pak Sapardi. Kami memang dekat, tapi belum sedekat sampai menjalin hubungan. Aku rasa kita bisa bersama karena dia pernah keceplosan mengatakan bahwa aku adalah tipe dia, walau itu sebenernya hanyalah sebuah hasil dari permainan truth or dare. Kami berdua selalu memainkan game disela-sela menulis cerpen dan membaca novel di perpustakaan. Aku hobi menulis cerpen untuk dikirim media koran berharap cerpenku diterbitkan dan dia punya hobi membaca novel. Sudah berkali kali aku bersama berdua semeja dengannya di perpustakaan, aku sudah lama menyukainya, namun aku belum berani menyampaikan perasaanku. 


 Aku rasa besok adalah hari yang tepat untuk menembaknya, dan aku juga sudah menyimpulkan dia juga suka denganku.


“Mending beli cokelat bentuk love atau bentuk kucing ya? Kan dia cat lovers banget,” gumamku sambil melihat rak cokelat khusus Valentine di swalayan dekat perpustakaan.


Aku berdiri di sana cukup lama, sekitar 15 menit, bengong sambil memikirkan pilihan yang paling tepat. Akhirnya, aku memilih cokelat berbentuk love yang terasa lebih romantis, lalu langsung menuju kasir untuk membayar.


“Berapa, Mbak?” tanyaku.


“Dua puluh tujuh ribu, Mas,” kata Mbak kasir dengan senyum kecil.


Aku memberikan uang lalu mengambil kantong plastik putih yang berisi cokelat itu. Saat hendak pergi, Mbak kasir itu berkata, “Wah, beruntung banget cewek yang dapet Masnya, jadi ingat masa SMA dulu deh, hihi.”


Aku tersenyum kecil, lalu berjalan keluar swalayan menuju tempat duduk di depan swalayan untuk menunggu bus TransJogja. Aku lebih sering pulang naik bus, karena Ibuku takut aku nanti jadi anak geng motor, sementara Ayahku khawatir aku malah jadi klitih.


Aku duduk di bangku yang ada di depan swalayan untuk menunggu bus berhenti karena memang didepan swalayan ini adalah halte pemberhentian bus. Di sebelahku, ada seorang pria, pegawai pom bensin, yang tadi kulihat sering memandangi pintu swalayan. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang keluar dari situ.


“Nunggu siapa, Mas?” tanyaku, sekadar memecah keheningan.


“Oh, lagi nunggu ayam jago bertelur, Mas,” jawabnya sambil tersenyum lebar.


“Alaaah, bisa aja, Mas,” kataku sambil tertawa, meski agak geli dengan lelucon itu.


“Hehe, gak Mas, saya nggak nunggu siapa-siapa kok.”


“Lah, itu Masnya dari tadi ngeliatin pintu swalayan mulu,” kataku sambil men-scroll TikTok.


“Wah, ketahuan ya? Iya, nih, saya lagi nunggu Mbak kasir itu,” jawabnya.


“Pacar?” tanyaku penasaran.


“Dulu sih iya,” jawabnya, matanya sedikit meredup.


“Wah, sekarang udah jadi istri dong,” kataku, mencoba bercanda.


“Mantan istri sih, Mas...” jawabnya pelan.


“Oh, maaf Mas, saya asal ngomong,” kataku agak merasa bersalah.


“Nggak apa-apa, Mas. Udah berdamai kok. Lagian saya cerai baik-baik,” katanya dengan tersenyum kecil.


Tiba-tiba pintu swalayan terbuka, dan Mbak kasir itu keluar. Tak lama setelah itu, pria yang kuperhatikan memakai motor Ninja keren berhenti, sepertinya dia menjemput Mbak kasir. Mereka berboncengan, dan Mbak kasir itu memeluknya erat dari belakang.


Aku hanya bisa tersenyum kecut melihat pemandangan itu. Mas pegawai pom melihat itu langsung menoleh kebelakang, berlagak seolah-olah agar tidak terlihat oleh mantan istrinya itu. 


“Masnya nggak apa-apa?” tanyaku, agak canggung.


“Halah, nggak apa-apa, Mas. Saya ikhlas kok, dia senang, saya ikut senang,” jawabnya sambil tertawa, meski aku tahu ada kesedihan yang tertahan di balik kata-katanya.


“Darimana Masnya tahu kalau dia bahagia?” tanyaku penasaran.


“Lihat deh, dia udah pakai cincin baru. Sebelumnya, waktu masih jadi istri saya, dia nggak pernah pakai cincin pernikahan kita dulu. Dan lihat juga cowok itu, keren banget motornya, ganteng, denger-denger pns lagi. Nggak kayak saya dulu, pacaran naik motor Astrea, dari SMA sampai sekarang,” jawab Mas itu, masih dengan tawa getir.


Aku melihatnya tertawa, tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih dalam di matanya. Rasa sakit yang tak bisa dia sembunyikan, meski dia berusaha terlihat tegar.


“Yasudah, Mas, saya pamit pulang dulu,” katanya sambil berdiri dan berjalan menuju parkiran warung nasi padang di sebelah swalayan.


Aku mengangguk sambil melangkah menuju halte. Tak lama, bus pun datang dan berhenti. Aku masuk dan duduk. Di dalam bus hanya ada aku dan sopir, sementara aku melamun sambil melihat pemandangan luar jendela.


Aku memikirkan cokelat yang baru saja kubeli. Besok, saat aku beri cokelat itu pada Raelia, apa reaksinya ya? Pasti senang, kan? Atau mungkin... dia akan kecewa? Entahlah, aku cuma bisa berharap yang terbaik.


Di tengah perjalanan, saat bus mulai penuh, sekilas aku melihat dua pasangan sejoli yang tampak mesra berdiri di halte, tidak jadi masuk ke bus. Tiba-tiba hatiku terasa hancur karena setelah kulihat-lihat itu Raelia. Melihat bukan aku yang dia gandeng melainkan orang lain, aku sedih.


Alih-alih menangis, aku justru tertawa kecil, berusaha meyakinkan diriku sendiri. “Ya sudah lah, cewek di dunia ini banyak,” pikirku. Tapi perasaan itu tak bisa dibohongi, meskipun aku berusaha menyembunyikannya.


Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamarku dan menangis. Suara tangisku terdengar samar di balik lagu K-pop Twice yang sengaja kuputar dengan volume keras.


Raelia adalah pemberi warna pertamaku. Masih kuingat betul topik-topik ringan yang mengalir begitu natural setiap kali kami berbincang. Karena dialah yang pertama, dan entah kenapa aku merasa dunia ini tiba-tiba kehilangan warna.


Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah seperti hari-hari biasanya menaiki bus dan masih membawa cokelat di dalam tasku. Di sekolah aku bersikap seperti biasa, dia menyapaku di sela-sela istirahat namun aku abaikan dia. Aku sudah tidak pernah ke perpustakaan sekolah lagi, aku lebih memilih menulis cerpen di perpustakaan kecamatan ku. Hingga akhirnya dia tidak pernah menyapaku lagi, seolah dia sudah tahu kenapa aku mengabaikan dia. Sampai akhirnya cokelat ini tidak sampai untuk dia dan berakhir ku makan sendiri. Hari demi hari, bulan demi bulan kami akhirnya saling tidak bertegur sapa hingga hari perpisahan tiba dan waktunya untuk kami lulus dari sekolah.


Pada tanggal 10 Februari 2027, aku sudah menjalani semester ke-7 di Universitas impianku di Semarang. Di lingkungan kuliahku, aku sangat sibuk dengan teman-teman baru. Aku cukup populer semenjak beberapa karya cerpenku terbit di koran serta blog ku yang lumayan ramai dibicarakan dan beberapa kali aku diundang podcast ditempat kuliahku. Bahkan belum lama ini sudah ada perempuan yang menyatakan cintanya padaku. Namun, aku menolaknya mentah-mentah dengan alasan dia bukan tipeku, walau yang sebenarnya hatiku masih belum move on dari Raelia. Pada tanggal 11 Februari, aku diberitahu bahwa salah satu sahabatku di SMA dulu telah meninggal, dan adik perempuanku akan wisuda SMA. Aku pun kembali ke Jogja menaiki bus.


Di dalam perjalanan, aku mulai teringat masa-masa pahit itu dan mulai penasaran semanis apa dia sekarang. Sampai tiba di halte dekat swalayan, aku sedikit kagum dengan lingkungan swalayan yang masih sama seperti dulu. Nostalgia. Di depan swalayan, aku cukup terkejut melihat mas-mas pegawai pom itu masih duduk di sana. Tapi kali ini beda, dia tidak lagi menatap pintu, melainkan melihat ke depan dengan tatapan kosong.


“Loh, Mas, masih ingat aku nggak? Aku yang dulu anak SMA yang pernah ngobrol sama Mas yang nunggu Mbak kasir itu,” kataku sambil menyodorkan tangan mengajak bersalaman.


“Wah, iya, iya ingat, Mas. Wah, makin ganteng Masnya, hahaha,” kata mas pegawai pom itu sambil bersalaman denganku.


“Masnya ngapain di sini?” tanyaku.


“Ah, jadi gini, Mas. Dua minggu setelah kita berbincang tiga tahun lalu, mantan istriku itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Saya sudah tanya-tanya ke kerabat dan teman dekatnya, tapi mereka nggak ada yang mau ngasih tahu di mana makamnya. Mungkin mereka masih berpikir saya penyebab kematiannya. Jadi karena saya terakhir lihat dia di depan swalayan ini, makanya saya selalu di sini, memberi doa untuknya sambil mengenang dirinya,” ucap Mas pegawai pom sambil sedikit menunjukkan mata memelas sedih.


Setelah mendengar cerita itu, aku jadi teringat Raelia. Seperti apakah keadaannya sekarang?


Singkat cerita, aku pergi melayat ke tempat sahabatku yang meninggal, dan di sana aku bertemu banyak teman-teman SMA. Mereka memberitahuku bahwa Raelia sekarang sudah menikah setelah lulus SMA, dan kini menjalankan usaha toko bunga. Mereka juga memberitahuku bahwa dia sudah punya anak laki-laki yang lucu. Mendengar itu, aku merasa senang.


Pada tanggal 13 Februari, tepat waktunya adikku wisuda SMA. Adikku sempat berpesan untuk membawakannya cokelat dan bunga saat wisuda. Aku membeli cokelat di swalayan yang sama dulu aku beli untuk Raelia, hanya saja kali ini harganya sudah naik jadi 30 ribu, dan penjaga kasir sekarang mas-mas. Aku sempat bertanya ke mas kasir di mana toko bunga terdekat, dan dia memberi tahu kalau toko bunga itu tidak jauh dari sini.


Pergilah aku ke toko bunga tersebut dengan bus yang masih berbentuk sama seperti dulu. 10 menit berlalu, halte demi halte dilalui, akhirnya aku sampai di tujuan. Di toko bunga itu, aku membeli bunga mawar merah yang dibuat jadi bucket, di toko ini penjualnya adalah mas-mas tampan dengan kumis tipis. Aku bahkan sempat berpikir kalau masnya bikin konten di TikTok, pasti viral.


Saat aku hendak pergi meninggalkan toko setelah membayar, tiba-tiba ada anak laki-laki kecil berlari mengejarku sambil menyodorkan uang, yang ternyata uangku tadi kelebihan. Tak lama kemudian, seorang perempuan cantik menghampiri, yang ternyata adalah ibu dari anak tersebut. Aku tiba-tiba teringat kalau Raelia juga punya anak laki-laki.


“Eh, dek pelan-pelan jangan lari-lari. Maaf ya, Mas, ini uangnya tadi kelebihan,” ucapnya.


“Oh iya, nggak apa-apa, Mbak. Oh iya, anaknya lucu. Namanya kalau boleh tahu siapa, ya?” tanyaku.


“Ditto, Mas. Ditto Artistika,” jawabnya sambil menggendong anak laki-laki itu.


Mendengar itu, aku jujur senang. Dia masih mengingatku dengan mengabadikan perasaanku melalui nama anaknya, walaupun kini kami sudah tidak saling mengingat wajah satu sama lain.


“Ini saya kasih cokelat buat adek,” ucapku sambil menyodorkan cokelat yang kubeli di swalayan tadi.


Raelia pun mengucapkan terima kasih dengan senyum manisnya, lalu aku pun pamit pergi. Di perjalanan menuju wisuda adikku, aku menangis dengan perasaan campur aduk di bus yang kebetulan sepi. Sampai di gedung tempat wisuda, keluargaku terharu melihat aku terlihat sedih, mengira aku menangisi adikku yang wisuda. Dan akhirnya adikku memarahiku karena aku tidak memberinya cokelat, meskipun dia memaafkanku di akhir.


Diakhir cerita, aku memantapkan menjadi penulis setelah lulus dari kuliahku. Aku cukup sukses menulis cerpen dan novel, novel pertamaku yang berisi perjalanan kisah cintaku tentunya dengan menyertakan tokoh Raelia. Aku mempublikasikan novel pertamaku ini di blog ku, walau sepi pembacanya dibanding karya lain ku namun aku cukup senang dengan cerita ini. Karena dalam blog ku ini ada komentar yang membuatku bahagia, yang ternyata itu komentar dari Raelia. Dia menuliskan bahwa dia menyukai novelku ini, dan dia berkata bahwa akan menjadi penggemarku selamanya dan akan mengikuti semua karyaku. 


Dan begitulah, warna pertama yang kuberi untuk Raelia, akhirnya berakhir dengan warna yang berbeda. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tinggal dan Pergi?

Menebak Cangkir Hati