Tinggal dan Pergi?
“Jika saja dunia sebuah kreativitas tanpa dimensi mungkin mataku sudah kujadikan pena untuk kepalamu yang kujadikan buku lalu kutulis kenangan-kenangan indah biar kekal kau kenang.” Anganku 13 Februari 2020 didalam kereta yang belum bergerak dari stasiun tengah-tengah kota Jogjakarta ini yang akan menjadi kali terakhirku melihat kota istimewa ini. Aku memutuskan untuk meninggalkan kota kelahiranku ku ini, bukan tanpa sebab. Aku merasa kota ini penuh kenangan pahit yang merusak suasana ketenangan hatiku. Tepat 2 bulan lalu sesudah wisudaku aku mendapat realitas pahit yang setiap hari menghancurkan suasana hatiku. Aku tak bisa mengelak fakta bahwa perempuan yang seharusnya duduk bersamaku di atas panggung pelaminan sekarang pergi jauh ke dunia yang penuh taman indah.
Pergi dari Jogja adalah keputusan mutlakku, menuju Semarang mungkin akan menjadi destinasi kebahagiaan pikirku. Tiba di stasiun Semarang aku melihat banyak sekali orang-orang yang dijemput keluarga atau pasangannya di malam ini. Sedangkan aku sendirian ditengah kerumunan kebahagiaan ini, namun tak lama ada supir taksi yang menyapa dan menawari ku tumpangan di depan stasiun. Mendekatlah aku dengan mengatakan lokasi tujuan kepada supir taksi itu dan dia mengangguk lalu menyuruhku masuk. Di dalam mobil aku duduk bangku belakang supir dengan memegangi tas ku.
Di dalam mobil itu suasana terasa asing, jalanan Semarang yang sibuk malam itu menyuguhkan pemandangan yang kontras dengan perasaan di dalam dadaku yang kosong. Aku teringat kata-kata influencer pendaki favoritku Fiersa Besari, yang pernah mengatakan, "Semua orang bisa pergi, tapi kenangan tetap ada." Namun, apakah benar begitu? Bisa saja aku pergi, tapi kenangannya akan terus menghantui.
"Jadi, apa tujuan kamu di Semarang mas?" tanya supir taksi itu, memecah keheningan.
Aku menarik napas panjang, mencoba mencari jawaban yang tepat. "Mencari ketenangan pak." jawabku akhirnya, meskipun aku sendiri tak yakin apa yang aku cari di sini.
Pak Supir itu mengangguk sedikit tersenyum, lalu melanjutkan perjalanan dengan keheningan sejenak. Aku kembali terbenam lenyap dalam pikiran dan anganku. Jogja adalah kota yang penuh kenangan bagiku, walau meninggalkan luka yang begitu dalam. Tidak hanya tentang perempuan yang meninggalkanku itu, tetapi juga tentang mimpi-mimpi indah khayal yang hancur berantakan. Sebuah perasaan seperti gelombang laut yang datang dan pergi, menghantam tanpa ampun hatiku.
Setiap sudut kota itu seolah mengingatkanku pada sebuah masa yang telah berlalu. Masa di mana segala sesuatu terasa begitu mudah dan indah. Kini, setiap jalan yang kulalui di Semarang terasa seperti jalan baru yang ingin aku buka, meski tidak tahu apakah itu akan mengarah pada kebahagiaan atau malah kekecewaan yang lebih dalam.
"Kadang kita harus pergi untuk menemukan diri kita" kata supir taksi itu, seolah bisa membaca pikiranku.
Aku menoleh kearah bapak, sedikit terkejut. "Yakin pak?"
Pak Supir tertawa kecil. "Tentulahhh. Dunia ini penuh dengan perubahan mas. Mungkin kamu pikir ini adalah awal yang baru, tapi sebenarnya, yang baru itu ada di dalam dirimu."
Aku terdiam, ada kebenaran dalam kata-katanya. Terkadang kita berlari jauh dari kenangan, tapi kenyataannya kita tidak pernah benar-benar meninggalkan apa yang telah membentuk kita. Kenangan itu tetap ada, tertanam di dalam diri kita, seperti tulisan tinta permanen yang tak bisa dihapus. Bahkan saat aku meninggalkan Jogja dan berpindah ke kota lain luka itu akan tetap ada namun aku bisa memilih untuk belajar dari luka itu.
Semarang pun akhirnya terbentang di hadapanku, dengan segala keramaian pengunjung menjajakan uangnya di pinggiran trotoar penuh pedagang. Dan hiruk-pikuk yang terasa asing namun menenangkan sesaat. Aku bukan lagi orang yang sama ketika aku memutuskan meninggalkan Jogja, dan mungkin tak ada satu tempat pun yang akan sepenuhnya menghapus kenangan. Namun, aku bisa memilih untuk menulis kisah baru bukan untuk menghindari masa lalu, melainkan untuk menyambut kehidupan yang penuh dengan potensi dan pembelajaran.
Malam itu di dalam taksi yang melaju perlahan ini aku mulai menyadari bahwa perjalanan ini bukanlah soal meninggalkan tempat atau orang, tetapi lebih kepada bagaimana kita membawa diri kita untuk tumbuh apapun yang terjadi. Seperti sebuah pena yang menulis di atas kertas kosong, aku punya kesempatan untuk menulis kisahku sendiri. Untuk memilih apa yang akan aku ingat dengan kesenangan dan apa yang akan aku biarkan pergi menghilang dan lenyap.
Di luar jendela lampu-lampu kota bersinar kecil dari kejauhan seperti bintang yang menyinari langit gelap. Mungkin kebahagiaan tidak terletak pada tempat yang kita pilih, tapi pada bagaimana kita memilih untuk melihat dunia ini dengan mata yang terbuka dan hati yang siap menerima segala kemungkinan yang ada.
“Memang adakalanya kita perlu meninggalkan sesuatu, bukan karena kita ingin melupakannya tetapi karena kita sudah siap untuk memulai sesuatu yang baru,” pikirku dalam hati, sembari menatap pinggiran jalan yang terbentang di jendela kaca mobil.
Komentar
Posting Komentar